Pertentangan-pertentangan Sosial
2.1. Prasangka dan Diskriminasi
Prasangka dan diskriminasi merupakan
dua hal yang ada relevansinya. Kedua tindakan tersebut dapat merugikan
pertumbuhan, perkembangan dan bahkan integrasi masyarakat. Dari
peristiwa kecil yang menyangkut dua orang dapat meluas dan menjalar,
melibatkan sepuluh orang, golongan atau wilayah disertai yindakan
kekerasan dan destruktif yang merugikan.
Prasangka me4mpunyai dasar
pribadi, di mana setiap orang memiliki9nya, sejak masih kecil unsur
sikap bermusuhan sudaj tampak. Melalui proses belajar dan semakin
besarnya manusia, membuat sikap cenderung untuk membeda-bedakan.
Perbedaan yang secara sosial silaksanakan antar lembaga atau kelompok
dapat menimbulkan prasangka melalui hubungan pribadi akan menjalar,
bahkan melembaga (turun menurun) sehingga tidak heran apabila prasangka
ada pada mereka yang tergolong cendekiawan, sarjana, pemimpin atau
negarawan. Jadi prasangka pada dasarnya pribadi dan dimiliki bersama.
Oleh karena itu perlu mendapatkan perhatian dengan seksama, mengingat
bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa atau masyarakat
multi etnik.

Jadi prasangka merupakan
kecenderungan yang tidak tampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul
tindakan, aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian diskriminatif
merupakan tindakan yang realistis, sedangkan prasangka tidak realistis
dan hanya diketahui oleh individu masing-masing.
2.2. Erhnosentrisme dan Stereotype
Perasaan
dalam dan luar kelompok merupakan dasar untuk suatu sikap yang disebut
dengan ethnosentrisme. Anggota dalam lingkungan suatu kelompok
,e,punyai kecenderungan untuk menganggap segala yang termasuk dalam
kebudayaan kelompok sendiri sebagai utama, baik riil, logis, sesuai
dengan kodrat alam, dan sebagainya, dan segala yang berbeda dan tidak
masuk ke dalam kelompok sendiri dipandang kurang baik, tidak susila,
bertentangan dengan kehendak alam dan sebagainya.
Jecenderungan-jecenderungan tersebut disebut dengan enthosentrisme,
yaitu sikap untuk menilai unsur-unsur kebudayaan orang lain dengan
mempergunakan ukuran-ukuran kebudayaan sendiri.
Sikap enthosentrisme
ini diajarkan kepada anggota kelompok baik secara sadar maupun secara
tidak sadar, bersama dengan nilai-nilai kebudayaan. Sikap ini dipanggil
oleh suatu anggapan bahwa kebudayaan dirinya kebih unggul dari
kebudayaan lainnya. Bersama itu pula ia menyebarkan kebudayaannya, bila
perlu dengan kekuatan atau paksaan.
Proses diatas sering
dipergunakan stereotype, yaitu gambaran atau anggapan ejek. Dengan
demikian dikembangkan sikap-sikap tertentu, misalnya mengejek,
mengdeskreditkan atau mengkambinghitamkan golongan-golongan tertentu.
Stereotype diartikan sebagai tanggapan mengenai sifat-sifat dan waktu
pribadi seseorang atau golongan yang bercorak nnegatif sebagai akibat
tidak lengkapnya informasi dan sifatnya yang subjektif.
Dalam
melakukan penilaian mengenai sesuati, seseorang cenderung
menyederhanakan kategori ke dalam dua kutub, seperti kaya miskinm rajin
malas, pintar bodoh. Kecenderungan menyederhanakan secara maksimal ini
disebabkan individu lebih mudaj melakukan hal ini dari pada melakukan
penilaian secara majemuk. Dengan demikian stereotype bukan saja suatu
kategori yang tetap, tetapi juga mengandung penyederhanaan dan
pemukulrataan secara berlebihlebihan. Penyederhanaan dan pemukul rataan
mengandung stereotype, sehingga merupakan dasar dari prasangka.
2.3. Konflik Dalam Kelompok
Istilah
konflik cenderung menimbulkan resfon-resfon yang bernada ketakutan atau
kebencian, padahal konplik itu sendiri merupakan suatu unsur yang
penting dalam pengembangan dan perubahan. Konflik dapat memberikan
akibat yang merusak terhadap diri seseorang, terhadap anggota-anggota
kelompok lainnya, maupun terhadap masyarakat. Sebaliknya konflik juga
dapat membangun kekuatan yang konstruktif dalam hubungan kelompok.
Jonflik merupakan suatu sifat dan komponen yang penting dari proses
kelompok, yang terjadi melalui cara-cara yang digunakan orang untuk
berkomunikasi satu dengan yang lain.
Konflik mengandung suatu
pengertian tingkah laku yang lebih luas dari pada yang biasa
dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar
dan perang. Dasar konflik berbeda-beda. Dalam hal ini terdapat tiga
elemen dasar yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik yaitu :
1. terdapatnya dua atau lebih unit-unit atau bagian-bagiam yang terlibat dalam konflik
2.
unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam
kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, masalah-masalah, nilai-nilai,
sikap-sikap, maupun gagasan-gagasan.
3. terdapatnya interaksi di antara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.
Konflik
merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu
yang sering dihubungkan dengannya, misalnya kebencian atau permusuhan.
Konflik dapat terjadi pada lingkungan yang paling kecil yaitu individu,
sampai pada ruang lingkup yang paling besar yaitu masyarakat :
1.
Pada taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk kepada adanya
pertentangan, ketidakpastian, atau emosi-emosi dan dorongan-dorongan
yang antagonistik dalam diri seseorang
2. Pada taraf dalam kelompok,
konflik-konflik ditimbulkan dari konflik-konflik yang terjadi di dalam
diri individu, dari perbedaan-perbedaan pada para anggota kelompok
dalam tujuan-tujuan, nilai-niali dan norma-norma, motivasi-motivasi
mereka untuk menjadi anggota-anggota kelompok dan minat-minat mereka
3.
Pada taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan di antara
nilai-nilai dan norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma
kelompok lain di dalam masyarakat tempat kelompok yang bersangkutan
berada. Perbedaan dalam tujuan, niali, dan norma serta minat;
disebabkan oleh adanya perbedaan pengalaman hidup dan simber-sumber
sosio ekonomis dalam suatu kebudayaan tertentu dengan yang ada di da;am
kebudayaan-kebudayaan yang lain.
Para penulis seperti Berstein,
Coser, Follett, Simmel, Wilson, dan ryland; memandang konflik sebagai
sesuatu yang tidak dapat dicegah timbulnya, yang secara potensial dapat
mempunyai kegunaan yang fungsional dan konstrutif; namun sebaliknya,
dapat pula tidak bersifat fungsional dan destruktif (Bernstein, 1965).
Konflik mempunyai potensi untuk memberikan pengaruh yang positif maupun
negatif dalam berbagai taraf interaksi manusia.
Integrasi Nasional
A.
Pengertian
Kita sering bangga bahwa hampir
200 juta orang Indonesia yang menduduki kepulauan nusantara ini mempunyai suatu
sifat plural atau aneka warna besar dalam hal bahasa dan budaya, dan kita
sering bangga akan rumus bhineka tunggal ika, yang berarti berbeda-beda tapi
satu.
Walaupun di satu pihak kita
bangga akan sifat aneka warna itu, di lain pihak kita juga prihatin mengingat
akan aneka warna masalah yang mungkin dapat timbul karena sifat itu. Bangsa
yang mempunyai sifat yang beraneka warna, juga memiliki aneka keinginan atau
kemauan dan karena itu sukar dipersatukan potensi guna tercapainya satu tujuan
optimal dalam pembangunan. Oleh sebab itu, perlu adanya usaha terus-menerus
untuk mempersatukan aneka warna penduduk Indonesia, agar ada rasa bersatu dan
bersikap sebagai satu bangsa. Inilah yang disebut dengan upaya mengintegrasikan
seluruh perbedaan yang ada di wilayah Indonesia. Mengintegrasikan bukan berarti
menghilangkan keanekawarnaan itu. Bahkan keanekawarnaan bangsa Indonesia
menjadi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.
Dasar dari Integrasi adalah
adanya perbedaan. Setiap anggota kelompok atau individu yang berbeda
disatupadukan untuk mencapai tingkat yang harmonis, stabil dan terjaminnya
ketenangan hidup.
Sebelum membahas lebih jauh
tentang integrasi Nasional perlu dikemukakan dahulu pengertian integrasi,
integrasi sosial dan integrasi nasional.
1.
Integrasi
Merupakan terjemahan dari kata integration ( Bhs. Inggris ) yang
berarti keseluruhan atau kesempurnaan. Maurice-Duverger (1881) memberikan
definisi sebagai berikut: “Integrasi adalah dibangunnya interdependesi yang
lebih rapat natara bagian-bagian dari organisme hidup atau antara
anggota-anggota di dalam masyarakat.” Jadi, integrasi merupakan suatu proses
mempersatukan hubungan antara anggota-anggotanya yang dianggap harmonis (Nursal
Luth, 1992:27).
2.
Integrasi Sosial Budaya
Integrasi sosial budaya adalah proses penyesuaian di antara unsur-unsur
sosial budaya yang saling berbeda, sehingga tercapai keserasian fungsinya dalam
kehidupan masyarakat.
Sebagai indikator dari adanya integrasi sosial budaya adalah adanya
toleransi di dalam kelompok masyarakat. Toleransi berarti membiarkan orang lain
atau kelompok lain berbuat sesuai aturan atau keinginan, tanpa adanya campur
tangan dari pihak lain.
3.
Integrasi Nasional
Integrasi Nasional dapat dikatakan sebagai suatu proses penyesuaian
dari keanekaragaman bangsa Indonesia sehingga tercipta keserasian atau
keharmonisan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Koentjaraningrat (1982)
mengatakan bahwa dalam usaha
mempersatukan penduduk yang beraneka-warna tersebut terdapat paling sedikit
empat sub-masalah yang masing-masing mempunyai dasar serta lokasi yang berbeda
dan yang karena itu memerlukan kebijaksanaan yang berbeda-beda. Keempat
sub-masalah itu adalah:
a.
Masalah mempersatukan aneka warna
suku bangsa
b.
Masalah hubungan antarumat
beragama
c.
Masalah hubungan , mayoritas dan
minoritas
d.
Masalah integrasi budaya-budaya di
Irian Jaya dan Timor Timur dengan budaya Indonesia.
Kesimpulannya :
Seperti penjelasan sebelumnya,bahwa Bangsa yang mempunyai sifat yang beraneka warna, juga memiliki aneka keinginan atau kemauan dan karena itu sukar dipersatukan potensi guna tercapainya satu tujuan optimal dalam pembangunan. Oleh sebab itu, perlu adanya usaha terus-menerus untuk mempersatukan aneka warna penduduk Indonesia, agar ada rasa bersatu dan bersikap sebagai satu bangsa. Inilah yang disebut dengan upaya mengintegrasikan seluruh perbedaan yang ada di wilayah Indonesia. Mengintegrasikan bukan berarti menghilangkan keanekawarnaan itu. Bahkan keanekawarnaan bangsa Indonesia menjadi bagian dari kekayaan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Widjaya, A.W. 1985.Ilmu Sosial Dasar. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta
2. Zen, MT. Sains, Tekhnologi dan Hari Depan Manusia. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta
3. …….(ed). 1986. Manusia Indonesia : Individu, Keluarga dan Masyarakat. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta
4. Panduan Belajar Antropologi untuk SMU Kelas 3, Caturwulan 1,2,3 –
Kurikulum 1994 ( PT Galaxy Puspa Mega )
Komentar
Posting Komentar